Sagu lempeng menu baru di meja kantor foto KomPasiana |
Biasanya sagu yang dikenal sudah dalam bentuk tepung atau butiran bulat warna-warni. Penasaran dengan makanan satu ini lantas ngobrol dengan teman-teman dari Papua dan Ambon yang sore itu menikmati sagu lempeng. Sambil mendengarkan lagu yang didendangkan Edo Kondologit yang berjudul Pankur Sagu, kami menikmati sagu lempeng sambil ditemani teh panas.
Sagu lempeng, adalah tepung sagu yang dimasukan dalam cetakan tanah liat lalu dipanaskan dengan cara dipanggang. Warna merah yang muncul dari ini tepung sagu yang dipanaskan dalam cetakan dan disebut Porna, demikian Jong Ambon menjelaskan. Sangat menarik sekali pengolahan sagu lempeng ini, namun nilai tambah dari pengolahan ini adalah sebuah teknologi pangan untuk pengawetan. Pengawetan dengan pemanasan, yakni dengan mengurangi kadar air mampu menghambat pertumbuhan mikroba dan jamur, sehingga sagu bisa bertahan dalam jangka waktu yang lama. Beberapa modifikasi juga ditambahkan dalam membuat sagu lempeng ini. Penambahan bahan-bahan seperti kacang dan gula sebagai komposisi sagu lempeng adalah modifikasinya untuk memberi nilai tambah.
Cukup di Colo (Maluku/Papua) / celup di teh panas atau susu, maka sagu lempeng sudah bisa dinikmati. Sumber Kompasiana |
Stigma sebagian besar masyarakat, kalau belum makan nasi belum makan yang acapkali memarjinalkan makanan unik ini. Sagu lempeng, seharusnya menjadi keanekaragaman pangan dan tidak hanya di Indonesia timur saja, seharusnya ke seluruh penjuru tanah air. Saya puas, kenyang makan sagu ini walau rasanya asing, namun ternyata enak juga. Kesan aneh pertama kali menggigit kerena tidak tahu, begitu paham bagaimana mengkonsumsinya malah menjadi ketagihan. Pagi hari sarapan, cukup teh manis atau susu dan sagu lempeng selamat tinggal nasi untuk beberapa waktu.
foto dok.pri